Assalamu'alaikum Warohmatullaahi Wabarokaatuh...
Saudaraku, terkadang kita sandarkan
harapan, kasih sayang, cinta, masa depan, status sosial, dan sebagainya pada
sesuatu yang sangat mungkin berubah dan pasti berakhir. Padahal, ada sandaran
dan tempat bergantung yang lebih abadi, lebih mulia, dan lebih agung. Tempat
bergantung itu adalah Allah Azza wa Jalla.
Katakanlah, “Dialah Allah, Yang Maha
Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” (QS.
Al-Ikhlas [112]: 1-2)
Inilah nas yang tidak perlu interpretasi
lagi. Tidak perlu tafsir karena semuanya sudah sangat jelas. Allahlah
satu-satunya tempat bergantung yang sesungguhnya. Sebab, Dialah Al-Khaliq,
Pencipta segala sesuatu.
Saudaraku, milik kita yang paling berharga
adalah fitrah kita. Fitrah adalah kecenderungan untuk menghamba kepada Allah
Azza wa Jalla. Fitrah juga merupakan kesadaran Ilahiah. Fitrah abadi
kita adalah 'abdullah, alias budak Allah. Ya, kita ini hanyalah budak. Sebagai
budak, apakah patut kita menyombongkan diri? Apakah patut kita bergantung
kepada si B padahal kita budak si A? Kita hidup atas belas kasihan Sang
Majikan. Identitas budak yang paling utama adalah tunduk dan patuh tanpa syarat
kepada sang majikan. Itulah sebabnya, sang budak disebut Muslim, yaitu orang yang
berserah diri secara total dan menggantungkan harapan dan keselamatan
sepenuhnya hanya kepada Al-Malik, Raja Diraja Yang Maha Kuasa.
“... dan aku diperintahkan supaya tunduk
patuh kepada Tuhan semesta alam.” (QS. Al-Mu'min [40]: 66)
Saudaraku, seringkali kita berikrar :
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku,
hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An'am
[6]: 162)
Itulah yang selalu kita ikrarkan dengan
segenap perhatian dan tulus setiap kali shalat.. Seolah-olah kita ingin terus
menerus memperbarui komitmen kehambaan kita kepada Allah Azza wa Jalla. Kita
seolah-olah ingin meyakinkan diri sendiri bahwa kita memang benar-benar telah
menyerahkan diri sepenuhnya kepada Kuasa Allah, Tuhan yang menciptakan
sekaligus memelihara kita.
Saudaraku, kita seolah mengatakan, “Ya
Allah, akulah hamba yang dha'if, lemah dan tanpa daya, tanpa kekuatan. Aku
butuh menyembah Engkau, sedangkan Engkau tidak membutuhkan disembah. Maka
terimalah sujud takzimku. Engkau tidak butuh perlindungan, sedangkan aku butuh
perlindungan-Mu. Maka lindungilah aku! Sebab, Engkaulah sebaik-baik Pelindung.
Engkau Yang Mahahidup, sedangkan aku hidup karena kehendak-Mu. Maka,
hidupkanlah aku dalam ridha-Mu! Engkau tidak mengenal kematian, sedangkan aku
dibayangi sang maut. Maka, matikanlah aku dalam keadaan khusnul khatimah. Ya
Allah, Engkau tidak membutuhkan apapun, sedangkan aku butuh rahmat dan kasih
sayang-Mu, dan Engkaulah tempat hamba bergantung...”
Saudaraku, saya ingin tutup uraian ini
dengan sebuah kisah yang sangat menarik:
Konon, suatu hari, Nabi Sulaiman a.s.
bertanya kepada seekor semut, berapa banyak makanan yang dibutuhkannya selama
setahun. Sang semut menjawab, sebutir gandum. Nabi Sulaiman a.s. memberi
sebutir gandum dan mengurung si semut dalam sebuah stoples kaca. Setahun
kemudian, Nabi Sulaiman a.s. menemui si semut kembali. Ternyata, si semut tidak
menghabiskan gandumnya, dan menyisakan separuh. Nabi Sulaiman a.s. heran.
“Hai semut, katanya kebutuhan makanmu
setahun sebutir gandum, kok itu masih tersisa separuh? Apakah kau sedang
membohongi aku?”
Sang semut tersenyum, ia tampaknya maklum
kalau Nabi Sulaiman a.s. bertanya dengan nada curiga seperti itu. Dengan
tenang, ia menjawab, “Ya Rasulullah, seandainya hamba bergantung kepada
Allah, tentulah sudah hamba habiskan gandum ini, Namun, karena hamba
menggantungkan hidup dan harapan kepada Tuan, gandum ini tidak hamba habiskan,
untuk persediaan setahun berikutnya.”
“Mengapa begitu?” Nabi Sulaiman a.s. penasaran.
“Hamba khawatir Tuan lupa atau lalai,
sedangkan Allah tidak mungkin lupa atau lalai memberi rezeki kepada hamba-Nya.”
Saudaraku, yang sangat-sangat ANEH, kenapa
kita masih terlalu sering bergantung kepada selain Allah Azza wa Jalla.
Wallahua'lam bish-shwab
ConversionConversion EmoticonEmoticon