Assalamu’alaikum Warohmatullaahi Wabarokaatuh…
Saudaraku, kita telah lama kehilangan
sesuatu yang membuat kita bangga. Kita, terutama anak-anak dan adik-adik kita,
saat ini sedang mencari “idola”. Maka, diluar rumah, bertemulah kita dengan
Karl Marx, Sigmund Freud, Che Guevara, Elvis Presley, Janis Joplin, Mick
Jagger, John Lennon, Kurt Cobain, Mariah Carey, Pearl Jam, Britney Spears, West
Life, F4, dan sebagainya. Tentu saja mereka bukan “idola” yang sedang kita
cari, tetapi apa boleh buat, kita temukan mereka di luar rumah kita yang terang
benderang. Mereka tampak lebih berkilauan karena memang mereka berada dalam
kebenderangan dunia.
Saudaraku, sesungguhnya kita telah
kehilangan idola yang membuat kita bangga ketika mengidentifikasikan figur
sebagai sang idola. Kita mempunyai orang-orang besar yang tidak akan pernah
dilahirkan kembali oleh sejarah. Dialah Nabi Muhammad Saw., keluarga, serta
para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Kita mempunyai Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a.,
‘Umar bin Khaththab r.a., ‘Ustman bin Affan r.a., ‘Ali bin Abi Thalib r.a., Abu
Dzar Al-Ghiffari r.a., Salman Al-Farisi r.a., Bilal bin Rabbah r.a., Usamah bin
Zaid r.a., Khalid bin Walid r.a., dan sebagainya. Dan, di jajaran perempuan,
kita mempunyai Khadijah Al-Kubra r.a., Fathimah Az-Zahra r.a., ‘A’isyah r.a.,
Ummu Salamah r.a., dan sebagainya.
Merekalah sesungguhnya yang patut menjadi
idola kita. Allah Swt. Telah menjamin mereka masuk surga. (Adakah tujuan akhir
yang lebih mulia daripada masuk surga? Dan, apakah ada pribadi yang lebih pantas
diteladani selain orang yang pasti masuk surga?) Merekalah sesungguhnya “idola”
yang hilang di rumah kita itu. Untuk menemukan mereka, tidak ada jalan lain
kecuali menyalakan pelita agar rumah kita jadi terang benderang.
Saudaraku, rumah kita yang gelap adalah
hati dan pikiran kita yang belum terjernihkan atau mungkin mati. Kalau belum
jernih, ia harus dibersihkan. Kalau mati, ia harus dihidupkan. Dengan apa?
Dengan Al-Qur’an. Al-Qur’anlah yang mampu menjadi atau berperan sebagai pelita
penerang. Ia adalah petunjuk jalan kebenaran.
“Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan
padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 2)
Selama ini, Al-Quran hanya kita fungsikan
dalam tiga suasana: saat kelahiran anak, pernikahan, dan kematian. Selebihnya,
ia adalah kitab klasik yang sudah selayaknya menempati rak perpustakaan kita.
Kitab klasik yang “tidak ternilai harganya”. Bahkan, saking “tidak ternilainya”
itu, ia jadi “tidak berharga” atau “nilainya tidak berharga” alias tidak
dihargai sama sekali. Kasarnya: dicuekin!
Saudaraku, sering kita bersihkan Al-Quran
di rak perpustakaan itu dari debu dengan kain lap, tetapi kita tidak menjadikan
Al-Quran sebagai pembersih hati kita dari debu-debu kemaksiatan dan dosa. Kita
tidak pedulikan debu-debu yang mengakibatkan dosa terus-menerus menutupi hati
dan jiwa. Jiwa dan hati menjadi gelap, dan lama-kelamaan bukan tidak mungkin
akan mati dalam kegelapan atau mati karena kegelapan.
Kita sering mencium Al-Quran dengan penuh
khidmat dengan hidung kita, atau kita kecup dengan mulut kita. Namun, tidak
pernah kita menciup atau mengecupnya dengan jiwa kita yang gersang, dengan hati
kita yang legam pekat karena noda hitam dosa dan kesalahan. Allah Swt.
berfirman,
Hai manusia, sesungguhnya telah datang
kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah
Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Quran). (QS. An-Nisa’
[4]: 174)
Saudaraku, rumah kita bisa juga Al-Islam.
Agama yang kita yakini, yang sesungguhnya kita hidup dibawah naungannya. Namun,
karena kita tidak menggunakan aturan hidup yang telah digariskan oleh Islam,
lewat contoh kehidupan Rasulullah Saw. Dan para sahabatnya, “Islam kita” jadi
kehilangan cahaya. Jadi gelap. Kita mengaku Muslim, tetapi tidak mau diatur
oleh Islam. Sebuah ironi—bahkan mungkin tragedi—kemanusiaan terbesar sepanjang
peradaban manusia adalah ketika seseorang yang mengaku Muslim tidak mau diatur
hidupnya oleh Islam.
Kita tidak shalat dan menganggap shalat
hanya sebagai simbol-simbol kesalehan lahiriah. Kita terus asyik bermaksiat dan
menganggapnya sebagai hal yang “niscaya” karena “tuntutan zaman”. Kita abaikan
puasa karena menganggap kesalehan itu bukan dari banyaknya aturan agama yang
kita jalankan, melainkan lebih pada bagaimana kita bergaul dengan sesama. Kita
tidak mau menunaikan zakat karena itu hanya sebagai kewajiban “mengasihani”
orang-orang yang miskin, tidak lebih dari itu. Dan haji, tidak lain dari
tamasya ruhani belaka, sama seperti kalau kita pergi ke San Francisco atau
Roma.
Saudaraku, orang luar “rumah kita” juga
bisa melihat dengan jelas kegelapan rumah yang kita huni. Mereka mungkin
bertanya, “Kok betah ya dia tinggal di rumah yang gelap kayak gitu?” Sebagian
dari kita sibuk mengutak-atik pelita tanpa ada upaya untuk menyalakannya.
Mereka mengatakan sang pelita kurang ini-itu, pelita itu harusnya begini dan
begitu. Walhasil, pelita itu kehilangan manfaat dari keberadaannya. Sebab, ia
hanya dibicarakan dan diuatk-atik tanpa pernah dinyalakan agar bisa menerangi
ruangan yang gelap. Menyalakan pelita itu berarti memfungsikan pelita menurut
“kodratnya”, menurut tujuannya diciptakan.
Wallahua’lam
bish-shawab
Wassalamu’alaikum
Warohmatullaahi Wabarokaatuh…
8 komentar
Click here for komentarwow keren :ng
Replyidolaku ibu dan nabi muhammad :D
Replymantep gan infonya jadi tambah ngerti
Replymakasih atas informasinya mas hehe
Replyboleh boleh ..
ReplyMakasih tausiyahnya gan. :-bd
Replywehehehehe thanks gan udh buat tobat pagi2 :D =D
Replynice gan... keep post biar makin cerah hari2 ne... :)
ReplyConversionConversion EmoticonEmoticon